KAJEN – Kirab Hari Jadi ke-403 Kabupaten Pekalongan mendadak punya bintang tamu tak diundang : kereta odong-odong. Bukan anak-anak yang menaikinya, melainkan para istri anggota DPRD Kabupaten Pekalongan, Senin, (25/08/2025).
Dibelakang deretan kereta kuda yang gagah berbalut tradisi, odong-odong warna-warni itu melintas membawa “rombongan kehormatan”. Pemandangan tersebut sontak jadi bahan perbincangan warga yang menonton kirab.
“Biasanya kan cuma buat anak kecil keliling kampung. Lah ini kok bisa masuk kirab resmi, bahkan dipakai istri wakil rakyat?” celetuk seorang penonton sambil terkekeh.
“Kalau masyarakat kecil yang pakai odong-odong di jalan, bisa ditindak. Tapi ini justru dipakai istri pejabat dalam acara resmi, jelas jadi pertanyaan,” ujar salah satu warga lain yang menyaksikan kirab.
Ironisnya, odong-odong sejatinya jelas dilarang beroperasi di jalan umum menurut aturan LLAJ. Namun entah bagaimana, kendaraan yang biasanya ditemani musik dangdut remix itu bisa mendapat tempat istimewa dalam acara budaya sakral yang seharusnya menjunjung tinggi adat dan sejarah.
Secara aturan, odong-odong memang masuk kategori kendaraan hasil modifikasi yang tidak laik jalan. Kendaraan ini tidak melalui uji tipe maupun uji berkala, serta tidak termasuk dalam jenis kendaraan bermotor yang diizinkan beroperasi sebagaimana diatur Pasal 47 ayat (2) UU LLAJ.
Terkait hal ini, Kasatlantas Polres Pekalongan, AKP Rony Hidayat, mengaku tidak mengetahui adanya odong-odong yang digunakan dalam kirab.
“Setahu saya tidak ada odong-odong itu. Adanya kereta kuda. Kalaupun ada yang menggunakan, nanti kita lihat di lapangan seperti apa ya. Kalau kemarin hasil rapat nggak ada odong-odong. Saya malah nggak tau,” jelas Rony.
Hal senada disampaikan Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Pekalongan, Agus Purwanto. Pihaknya menegaskan tidak pernah merekomendasikan penggunaan odong-odong.
“Karena menyangkut keselamatan di jalan raya, sehingga kami tidak merekomendasikan,” tegas Agus.
Kontroversi ini pun menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat. Peristiwa tersebut dianggap sebagai preseden buruk, karena justru para istri anggota dewan—yang seharusnya menjadi teladan— justru menampilkan kendaraan yang dilarang.
Fenomena ini juga meninggalkan catatan tersendiri, di saat masyarakat diharapkan menjaga budaya dan taat aturan, justru para istri wakil rakyat menunjukkan “kreasi baru” yang menabrak keduanya.
Hari jadi yang mestinya menjadi panggung kejayaan tradisi dan budaya, akhirnya diwarnai satire “odong-odong naik derajat jadi kereta kencana istri pejabat”. (GUS)